PERILAKU
POLITIK PEMILIH PADA PEMILIHAN GUBERNUR DKI JAKARTA 2012-2017
Perilaku komunikasi politik tidak
lepas dari pengaruh faktor budaya dan sistem politik yang berlaku saat itu.
Sistem politik di Indonesia dari waktu ke waktu mengalami perubahan seiring
dengan bergantian rezim yang berkuasa. Di era reformasi sistem politik
demokrasi mengalami penguatan dan legitimate sebagai harapan akan munculnya
ruang partisipasi politik yang semakin transparan. Transparansi dan terbukanya
ruang partisipasi dalam sistem politik demokrasi sangat dirasakan oleh
masyarakat Indonesia sejak pemilu 2004, demikian pula demokratisasi di tingkat
lokal
Sistem politik demokratis semakin
dirasakan masyarakat DKI Jakarta 2012. Perkembangan politik lokal di Jakarta
cukup menarik publik karena Jakarta merupakan Ibu Kota negara Indonesia, terutama
persoalan pemilihan gubernur Jakarta 2012 yang menuai banyak kontrovesi. Sistem
Pilkada langsung oleh rakyat yang telah menggeser sistem perwakilan, baik
partai politik maupun kandidat kepala daerah harus mendekat pada rakyat.
Konsekuensi perubahan sistem pemilihan rakyatlah yang menentukan pilihan politik bukan lagi pada sekelompok elit politik yang namanya legislatif. Strategi pendekatan terhadap publik sebagai pemilik suara banyak dilakukan oleh para calon kandidat kepala daerah. Akibatnya iklan-iklan politik bertebaran di mana-mana dalam bentuk baliho maupun bentuk lainnya seperti memanfaatkan media massa baik media cetak maupun media elektronik. Melalui iklan politiknya, mereka mencoba untuk menawarkan berbagai janji-janji politiknya. Sistem Pilkada langsung lebih menjanjikan dibandingkan sistem yang berlaku sebelumnya. Pilkada langsung termasuk pemilihan gubernur Jakarta diyakini memiliki kapasitas yang memadai untuk memperluas partisipasi politik masyarakat, sehingga masyarakat memiliki kesempatan untuk memilih secara bebas pemimpin daerahnya. Pilkada langsung merupakan munculnya berbagai varian preferensi pemilih yang menjadikan berbagai faktor determinan dalam melakukan tindakan politiknya untuk mengapresiasi sistem politik demokrasi tersebut. Masyarakat Jakarta mempunyai banyak latar belakang kultur majemuk membuat sistem pemilihan terasa sangat bebas. Demikian pula banyak latar belakang geografis kota. Latar belakang kultur maupun geografis tersebut diperkirakan akan mempengaruhi pilihan politiknya.
Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur
DKI Jakarta 2012diselenggarakan pada Rabu, 11 Juli 2012 dan Kamis, 20 September 2012
untuk memilih Gubernur Jakarta untuk jangka waktu lima
tahun berikutnya. Gubernur petahana Fauzi Bowo yang
kembali mencalonkan diri harus mengikuti babak penentuan (putaran kedua) pada
tanggal 20 September. Berdasarkan peraturan, hanya partai politik yang memiliki
15 kursi atau lebih di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang
dapat mengajukan kandidat. Partai politik yang memiliki kursi kurang dapat
mengajukan calon hanya jika mereka telah memperoleh dukungan dari partai
politik lainnya. Calon independen dapat mengajukan diri jika mereka telah
mengumpulkan setidaknya 407.340 tanda tangan dari penduduk lokal sebagai
dukungan untuk mendaftarkan pencalonan mereka ke Komisi Pemilihan Umum.
Pemilihan umum ini diikuti oleh enam
calon pasangan gubernur dan wakil gubernur, 4 pasangan diusung oleh partai
politik dan dua pasang berasal darì calon independen. Putaran pertama hitung cepat
(quick count) yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI)
menghasilkan; Foke-Nara (34,42%), Hendardji-Riza (1,85%), Jokowi-Ahok (42,85%),
Hidayat-Didik (11,80%), Faisal-Biem (4,75%), dan Alex-Nono (4,41%).
Sementara, hitung cepat pada hari
pemilu putaran kedua tanggal 20 September 2012 yang ditayangkan sejumlah
stasiun televisi mengunggulkan pasangan Jokowi-Ahok meraih suara sekitar
54-56%, sementara Foke-Nara berkisar 46-44%. Publikasi sejumlah media cetak
sehari setelah pemilu (21/9) mengungkapkan, pasangan Jokowi-Ahok tetap unggul
atas pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli; LSI dengan (53,81%:46,19%),
Indobarometer (54,11%:45,89%), Indonesian Network Election Survey
(57,39%:42,61%), Jaringan Suara Indonesia (53,28%:46,72%), Saiful Mujani
Research and Consulting (53,27%:46,73%), dan Lingkaran Survei Indonesia
(53,68%:46,32%), Kompas (52,97%:47,03%). Hasil resmi diumumkan pada tanggal 28
September 2012.
TEORI
SIFAT KOMUNIKASI POLITIK
Teori-teori dalam kategori ini
berfokus pada kecenderungan atau predisposisi yang menentukan cara orang
berprilaku. Setiap kepribadian mengandung seperangkat sifat yang unik dan
individual. Oleh karena itu, orang dapat dibandingkan satu sama lain
berdasarkan perbedaan sifat mereka –perbedaan yang diukur dengan skala yang
menujukan berapa banyak sari setiap sifat itu yang dimiliki seseorang.
Contohnya sifat kepribadian yang
diukur dengan skala seperti ini meliputi apakah seseorang mudah menyesuaikan
diri atau kaku, emosional atau tenang, cermat atau ceroboh, konvensional atau
eksentrik, mudah cemburu atau tidak, sopan atau kasar, pembosan atau tekun,
lembut atau keras, rendah hati atau sombong, dan lemah atau bersemangat.
Sejumlah ilmuwan sosial menerangkan politik sebagai refleksi sifat kepribadian.
Studi lain berusaha menentukan sifat yang mencakup kepribadian konservatif.
TEORI
TIPE
Teori ini mengklasifikan orang ke
dalam kategori-kategori berdasarkan karakteristik yang dominan atau tema pokok
yang timbul berulangkali dalam perilaku politik mereka. Meskipun kebanyakan
upaya untuk menguraikan kepribadian politik telah menerapkan teori tipe
berfokus pada karakter dan gaya pemimpin politik, di sini perhatian kita adalah
pada mereka yang etlah menggunakan teori tipe untuk memperhitungkan bagaimana
khalayak komunikasi politik belajar menanggapai dengan berbagai cara.
Dalam teori ini berdasarkan
perbedaan dalam pengaruh orang tua terhadap kepribadian seseorang terbadi pada
beberapa tipe golongan, diantaranya:
(1)
Golongan Inaktif adalah sesorang yang berpartisipasi dalam organisasi politik
atau sosial di suatu tempat, mereka sama memiliki tipe asuhan orang tua yang
sama. Orang tua mereka mengkhawatirkan kesehatan, konformitas, dan kepatuhan
akan tuntutan orang tua.
(2)
Golongan kovensionalis terdiri dari anggota perkumpulan laki-laki dan
perempuan. Orang yang relatif sedikit keterlibatannya dalam politik dan
merupakan stereotif “Orang Biasa” yang konvensional, orang tua yang
konvensional pada umumnya setia kepada nilai sosial tradisional seperti
tanggung jawaban, konformitas, prestasi, dan kepatuhan serta menuntut perilaku
yang patut secara sosial dari anak-anak mereka. Oarang tua ini menggunakan
hukuman fisik fisik dan psikologis dalam mendidik anak-anak mereka.
(3)
Golongan konstruktivis bekerja pada proyek pelayanan sosial, tetapi jarang
menjadi peserta protes yang terorganisasi; orang tua mereka menekankan
disiplin, prestasi, dan keandalan, pengungkapan diri yang terbatas, dan
menggunakan hukuman nonfisik. Mereka lebih diakrabi anak-anak mereka ketimbang
orang tua golongan konvensionalis.
(4)
Golongan aktivis mengajukan protes ataus kekecewaan mereka terhadap kejelekan
masyarakat yang dipersepsi dan juga turut dalam proyek pelayanan masyarakat
untuk memperbaiki keburukan itu, orang tua mereka mendorong anak-anak merela
untuk independen dan bertanggungjawab, mendiring ekspresi diri berupa jenis
agresi fisik, dan keurang menekan disiplin jika dibandingkan dengan kelompok
yang diuraikan diatas. Namun mereka mengenang hubungan dengan orang tua sebagai
hubungan yang kaku.
(5)
Golongan penyingkin (disenter) adalah yang hanya terlibat dalam protes-protes
terorganisasi. Orang tua golongan ini tidak konsisten dalam melaksanakan
pendidikan anak. Mereka serba membolehkan (permisif) dalam bidang tertentu,d an
sangat ketast (restriktif) dalam bidang lain, mereka kurang menekankan
indenpedensi dan kedewasaan yang dini dibandingkan dengan orang tua yang lain,
namun menuntut prestasi melalui persaingan. Golongan pengingkar jauh lebih
cenderung unturk memprotes sebagai bentuk pemberontakan terhadap orang tua
daripada dalam golongan yang lain.
Kebaikan atau kekurangan tipologi
seperti itu di sini bukan pokok masalah, melainkan hanya contoh tentang
bagaimana para sarjana kadang-kadang mencoba menerangkan politik sebagai
refleksi kepribadian. Berbeda dengan teori sifat, pandangan tipe bukan
menujukan kecenderungan yang menentukan perilaku, melainkan berfokus pada
konsfigurasi perilaku yang memisahkan orang terhadap satu sama lain. Namun,
baik dalam teori sifat maupun teori tipe, masa kanak-kanak mempengaruhi
permainan peran utama dalam memberi bentuk kepada pengungkapan politik. Tema
bahwa manusia politik itu dilahirkan dari anak, sekali lagi terjadi.
TEORI
FENOMENOLOGIS.
Teori fenomenologis adalah pandangan
bahwa peran kepribadian dalam perilaku (termasuk kepribadiandalam politik)
paling mudah dipahami dengan melukiskan peranan langsung orang –yaitu proses
yang digunakan oleh mereka yang memeprhatikan dan memahami fenomena yang
disajikan langsung oleh mereka.
Oleh sebab itu, teori fenomenologis
menekankan bahwa cara orang mengalami dunai secara subjektif –sensasi,
perasaan, dan fantasi yang terlibat- adalah titik tolak untuk meneliti
bagaimana orang menanggapi berbagai objek.
Dua
garis uatam berpikir merefleksikan pendekatan fenomenalogis yaitu:
(1)
Teori Gestalt tentang persepsi. Penganut teori ini berargumentasi bahwa aspek
utama kepribadian ialah bagaimana orang menyusun pengalaman ke dalam pola atau
konsfigurasi. Mereka menekankan prinsip kesederhanaan dalam menyusun persepsi.
(2)
Teori medan. Teori ini berargumentasi bahwa kepribadian (pola perilaku yang
kekal dan diperoleh dengan belajar) saja tidak dapat menerangkan bagaimana
orang berprilaku. Setiap orang memilki ruang hidup yang tersusun dari medan
gaya. Dalam bertindak, individu mendekati atau menghindari gaya dan objek dalam
ruang hidupnya sebagaiaman ia memahami gaya itu saat bertindak.
Pengalaman yang lalu tentu bisa
merupakan gaya di dalam medan itu, tetapi tidak menentukan bagaimana orang akan
bertindak terhadap objek dalam situasi tertentu. Teori medan. Menolak gagasan
bahwa penyebab tindakan manusia terletak pada masalah yang sudah lama dari
setiap individu; sebaliknya, bidang pada saat sekarang adalah produk dari
bidang tersebut menurut keadaanya pada masa yang baru saja lewat pengalaman
masa lalu jauh turut membentuk bidang masa sekarang secara tidak langsung
dengan perjalanan waktu, tetapi pengalaman yang segera memberikan keterangan
yang lebih pasti tentang mengapa orang berperilaku seperti apa yang
dilakukannya dalam bidang masa sekarang.
Teori bidang mencakup dua gagasan
yang mempunyai relevansi khusus dengan politik, yang pertama ialha bahwa
belajar politik merupakan proses kumulatif, bahwa pengalaman yang sedang
dialaminya membantu seseorang mendiferensiasikan kepercayaan, nilai dan
pengharapan yang difus yang dipungutnya pada msa kanak-kanak. Manusia politik
mengajari anak masa lalu dengan melibatkan diri ke dalam pengalaman yang baru
yang sebelumnya tidak diperhitungkan.
Pendekatan
Perilaku Pemilih
1. Pendekatan
Sosiologis
Pendekatan ini pada dasarnya
menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial
mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku memilih
seseorang. Karakteristik sosial (seperti pekerjaan, pendidikan dan sebagainya)
dan karakteristik atau latar belakang sosiologis (seperti agama, wilayah, jenis
kelamin, umur, dan sebagainya) merupakan faktor penting dalam menentukan
pilihan politik. Pemahaman terhadap pengelompokan sosial baik secara formal,
seperti kelompok keagamaan, organisasi profesi, maupun pengelompokan informal
seperti keluarga, pertemanan, ataupun kelompok kecil lainnya memiliki peranan
besar dalam membentuk sikap, persepsi, dan orientasi seseorang, yang nanti
sebagai dasar atau preferensi dalam menentukan pilihan politiknya. (Anwar, 2004
: 23-24). Gerald Pomper (dalam Asfar, 2006) memerinci pengaruh pengelompokan
sosial dalam studi voting behavior ke dalam variabel, yaitu variabel
predisposisi sosial-ekonomi keluarga pemilih dan predisposisi sosial-ekonomi
pemilih. Menurutnya, predisposisi sosial pemilih dan keluarga pemilih mempunyai
hubungan yang signifikan dengan perilaku memilih seseorang. Preferensi-preferensi
politik keluarga, apakah preferensi politik ayah atau preferensi politik ibu
akan berpengaruh pada preferensi politik anak. (Lipset, 1995: 1346-1353)
Aspek geografis mempunyai hubungan
dengan perilaku memilih. Adanya rasa kedaerahan memengaruhi dukungan seseorang
terhadap partai politik. Penelitian-penelitian Rose di Norwegia menunjukkan
bahwa ikatan-ikatan kedaerahan, seperti desa-kota, merupakan faktor-faktor yang
cukup signifikan dalam menjelaskan aktivitas dan pilihan politik seseorang.Ikatan
kedaerahan terutama sangat kuat dalam mempengaruhi pilihan seseorang terhadap
kandidat. (Asfar, 2006: 140) Dalam berbagai ragam perbedaan struktur sosial,
yang paling tinggi pengaruhnya terhadap perilaku politik adalah faktor kelas
(status ekonomi).
2. Pendekatan
Psikologis
Pendekatan ini menjelaskan bahwa
sikap seseorang-sebagai refleksi dari kepribadian seseorang, merupakan variabel
yang cukup menentukan dalam memengaruhi perilaku politik seseorang. Pendekatan
psikologis menekankan pada tiga aspek psikologis, yaitu ikatan emosional pada
suatu partai politik, orientasi terhadap isu-isu dan orientasi terhadap
kandidat. (Niemi and Herbert F. Weisberg, 1984: 9-12) Pendekatan psikologis
menganggap sikap merupakan variabel sentral dalam menjelaskan perilaku politik
seorang.
3. Pendekatan
Rasional
Ada faktor situasional yang ikut
perperan dalam mempengaruhi pilihan politik seseorang. Dengan begitu, para
pemilih tidak hanya pasif tetapi juga aktif, bukan hanya terbelenggu oleh
karakteristik sosiologis tetapi juga bebas bertindak. Faktor-faktor situasional
itu bisa berupa isu-isu politik ataupun kandidat yang dicalonkan. Dengan
demikian isu-isu politik menjadi pertimbangan yang penting. Para pemilih akan
menentukan pilihan berdasarkan penilaiannya terhadap isu-isu politik dan
kandidat yang diajukan. Mereka melihat adanya analogi antar pasar (ekonomi) dan
perilaku memilih (politik).
Seseorang memilih kontestan atau
kandidat tertentu dapat dilihat dari lima pendekatan yakni pendekatan
struktural melihat kegiatan memilih sebagai produk dari konteks struktur yang
luas, seperti struktur sosial, sistem partai, sistem pemilihan umum,
permasalahan dan program yang ditonjolkan. Pendekatan sosiologis cenderung
menempatkan kegiatan memilih dalam kaitan dengan konteks sosial, pilihan
seseorang dipengaruhi latar belakang demografi dan sosial ekonomi, seperti
jenis kelamin, tempat tinggal (kota-desa), pekerjaan, pendidikan, kelas,
pendapatan, dan agama. Pendekatan ekologis cenderung hanya relevan apabila
dalam suatu daerah pemilihan terdapat perbedaan karakteristik pemilih
berdasarkan unit teritorial seperti desa, kelurahan, kecamatan, dan kabupaten.
Pendekatan psikologi sosial, secara emosional dirasakan sangat dekat dengan partai
politik atau kandidat. Pendekatan pilihan rasional melihat kegiatan memilih
sebagai produk kalkulasi untung dan rugi.
Peran Media
Massa
Peran media massa sangat penting
dalam memengaruhi pemilih. Salah satu kunci persaingan politik adalah media
massa. Media massa ini diartikan sebagai suatu entitas yang memiliki peran dan
fungsi untuk mengumpulkan sekaligus mendistribusikan informasi dari dan ke
masyarakat. Efektivitas komunikasi politik membutuhkan peran serta media massa,
karena merekalah salah satu profesi penting yang memiliki perangkat dan
kemampuan berkomunikasi dengan masyarakat luas. Komunikasi politik kerapkali
terjadi secara tidak langsung melalui pemberitaan-pemberitaan yang dilakukan
oleh media massa.(Firmansyah,2008:265)
Seperti telah disebutkan di teori
sifat, tipe dan fenomena yang bisa diterapkan pada kasus pemilihan Gubernur DKI
Jakarta 2012. Jokowi yang menjadi fenomenal karena pada saat menjadi calon
Gubernur dia masih menjabat sebagai walikota Solo.
“Blusukan” adalah kata yang menggambarkan suatu kegiatan atau kinerja yang
focus di lapangan tentunya dengan dukungan administrasi yang baik. Kata
“blusukan” sendiri menjadi trend setelah Jokowi – Ahok menjadi pemimpin
tertinggi di DKI Jakarta setelah menang atas Foke – Nara. Menjadi Gubernur di
ibukota Indonesia tidaklah mudah, sejumlah masalah telah menanti duet beda Suku
dan Agama ini. Pembagian Tugas yang jelas, itulah yang membedakan Joko Widodo
(Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam melaksanakan tugas
pemerintahan. Ahok lebih banyak difungsikan mengurusi administrasi, manajemen
diperbaiki di segala lini, Ahok dipercayakan untuk berada lebih banyak dikantor
mengurusi Administrasi DKI Jakarta. Sementara Jokowi berkutat dengan Manajemen
Blusukan ala Jokowi yang telah terkenal semenjak menjadi Walikota Solo.
Naik turun bus reyot, memandangi tumpukan sampah di kali, masuk roil,
menyapa rakyat yang terpinggirkan dan berada di daerah-daerah kumuh, melantik
wali kota di tengah-tengah daerah yah kumuh, berada ditengah-tengah banjir yang
melanda DKI Jakarta, sampai lelang jabaan Lurah dan Camat. Ide cemerlang berani
melelalang Jabatan Lurah dan Camat terbuka untuk seluruh PNS (Pegawai Negeri
Sipil) berpangkat setingkat Eselon III dan IV merupakan terobosan yang berani
dan bukti bahwa duet Jokowi – Ahok ini adalah sosok yang jujur, berdediaksi
yang tinggi dan mau memperbaiki birokrasi pemerintahan yang terlanjur di cap
kotor dan korupsi. Duet maut ini ingin membuktikan bahwa mereka memang
memerlukan orang-orang yang memiliki kualitas mumpuni dalam
mengisi jabatan Lurah dan Camat, bukan berdasarkan “UANG”, seperti
yang dilakukan oleh pejabat-pejabat lain dalam mengisi jabatan apapun, harus
memiliki atau harus mampu menyediakan “UANG” dalam
besaran angka tertentu, praktek 3 D, masih terasa dalam proses pengangkatan
pejabat jabatan apapun dalam pemerintahan, 3 D itu adalah : Duit,
Dekking dan Dedikasi.
Dengan memanfaatkan perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi, Jokowi –
Ahok membuat proses lelang jabatan beda, test pertama adalah Test Kompetensi,
dengan bantuan program aplikasi CAT (Computer Assisted Test), metode seleksi
dengan alat bantu computer yang bertujuan untuk mendapatkan standard minimal
kompetensi dasar bagi calon seleksi Lurah maupun Camat. Dengan aplikasi ini,
soal dapat diacak secara otomatis, sehingga peserta test seleksi dipastikan
tidak mendapat soal yang sama atau setiap peserta mendapatkan soal yang
berbeda, sehingga kemungkinan untuk “nyontek” minim.
Ketika
menjabat sebagai walikota, Pemuda solo ini mulai membangun kota kelahirannya
dari mulai hal-hal kecil, seperti pasar-pasar yang kurang tertata rapi, serta
mengenai pembangunan infrasturkturnya. Ibarat sosok jokowi memberikan air segar
di tengah Oase. Pria yang terkenal dengan gaya blusukan ini, mulai membuat
gebrakan-gebrakan baru dengan menampilkan sisi kreativitas dari kota solo
tersebut. Beberapa ide-ide brilian yang dicetus adalah dengan membuat solo
sebagai city branding,membangun
solo melalui seni budayanya sehingga lahirlah acara tahunan ‘Solo Batik
Karnival’. Ide-ide kreatif mulai diimplementasikan sehingga membuat nama Solo
semakin terkenal baik secara domestik maupun mancanegara.
Dia
memimpin solo seperti benar-benar mendengarkan aspirasi warganya sendiri. Dia
melakukan pendekatan persuasif untuk mengajak warganya membangun kota solo
bersama. Dia blusukan, gemar berkeliling kampung dan
desa untuk menemui warganya. Tetapi, hal itu bukan merupakan suatu perbuatan
yang sia-sia. Dalam buku biografi yang ditulis oleh Alberthine Endah yang
berjudul “Jokowi, Memimpin Kota, Menyentuh Jakarta’, Jokowi mengatakan,
“Tak ada sesuatu yang luar biasa yang saya buat, Saya hanya
melakukan yang semestinya memang harus dilakukan.”
Kata
yang cukup sederhana, dan tidak sulit untuk dicerna. Beliau menggambarkan bahwa
pemimpin itu bukan sesuatu yang terlalu rumit, tetapi kalau seseorang memahami
dengan benar bagaimana filosofis pemimpin, pasti akan melakukan sesuatu yang
sudah seharusnya dilakukan. Tidak ada yang istimewa, yang ada hanyalah
kesederhanaan yang dibalut dengan kecintaan dan kesungguhan untuk menjalani
suatu amanat. Apalagi untuk rakyat.
Referensi
:
Nimmo, Dan. 1989. Komunikasi
Politik, Khalayak dan Efek.. Bandung : Rosdakarya.
……………...1993.
Komunikasi Politik, Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung : Rosdakarya
Jurnal
penelitian komunikasi “Perilaku Politik Pemilih Pada Pemilihan Gubernur Jawa
Timur Periode 2008-2013 Hal. 43” Majalah
Ilmiah ISSN : 1410 – 8291., SK Kep. LIPI No. 536/D/2007 tanggal 26 Juni 2007.
No comments:
Post a Comment