Welcome junk!

UAS KOMUNIKASI POLITIK

Thursday, May 9, 2013

PERILAKU POLITIK PEMILIH PADA PEMILIHAN GUBERNUR DKI JAKARTA 2012-2017

            Perilaku komunikasi politik tidak lepas dari pengaruh faktor budaya dan sistem politik yang berlaku saat itu. Sistem politik di Indonesia dari waktu ke waktu mengalami perubahan seiring dengan bergantian rezim yang berkuasa. Di era reformasi sistem politik demokrasi mengalami penguatan dan legitimate sebagai harapan akan munculnya ruang partisipasi politik yang semakin transparan. Transparansi dan terbukanya ruang partisipasi dalam sistem politik demokrasi sangat dirasakan oleh masyarakat Indonesia sejak pemilu 2004, demikian pula demokratisasi di tingkat lokal
            Sistem politik demokratis semakin dirasakan masyarakat DKI Jakarta 2012. Perkembangan politik lokal di Jakarta cukup menarik publik karena Jakarta merupakan Ibu Kota negara Indonesia, terutama persoalan pemilihan gubernur Jakarta 2012 yang menuai banyak kontrovesi. Sistem Pilkada langsung oleh rakyat yang telah menggeser sistem perwakilan, baik partai politik maupun kandidat kepala daerah harus mendekat pada rakyat.

  Konsekuensi perubahan sistem pemilihan rakyatlah yang menentukan pilihan politik bukan lagi pada sekelompok elit politik yang namanya legislatif. Strategi pendekatan terhadap publik sebagai pemilik suara banyak dilakukan oleh para calon kandidat kepala daerah. Akibatnya iklan-iklan politik bertebaran di mana-mana dalam bentuk baliho maupun bentuk lainnya seperti memanfaatkan media massa baik media cetak maupun media elektronik. Melalui iklan politiknya, mereka mencoba untuk menawarkan berbagai janji-janji politiknya. Sistem Pilkada langsung lebih menjanjikan dibandingkan sistem yang berlaku sebelumnya. Pilkada langsung termasuk pemilihan gubernur Jakarta diyakini memiliki kapasitas yang memadai untuk memperluas partisipasi politik masyarakat, sehingga masyarakat memiliki kesempatan untuk memilih secara bebas pemimpin daerahnya. Pilkada langsung merupakan munculnya berbagai varian preferensi pemilih yang menjadikan berbagai faktor determinan dalam melakukan tindakan politiknya untuk mengapresiasi sistem politik demokrasi tersebut. Masyarakat Jakarta mempunyai banyak latar belakang kultur majemuk membuat sistem pemilihan terasa sangat bebas. Demikian pula banyak latar belakang geografis kota. Latar belakang kultur maupun geografis tersebut diperkirakan akan mempengaruhi pilihan politiknya.
            Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta 2012diselenggarakan pada Rabu, 11 Juli 2012 dan Kamis, 20 September 2012 untuk memilih Gubernur Jakarta untuk jangka waktu lima tahun berikutnya. Gubernur petahana Fauzi Bowo yang kembali mencalonkan diri harus mengikuti babak penentuan (putaran kedua) pada tanggal 20 September. Berdasarkan peraturan, hanya partai politik yang memiliki 15 kursi atau lebih di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang dapat mengajukan kandidat. Partai politik yang memiliki kursi kurang dapat mengajukan calon hanya jika mereka telah memperoleh dukungan dari partai politik lainnya. Calon independen dapat mengajukan diri jika mereka telah mengumpulkan setidaknya 407.340 tanda tangan dari penduduk lokal sebagai dukungan untuk mendaftarkan pencalonan mereka ke Komisi Pemilihan Umum.
            Pemilihan umum ini diikuti oleh enam calon pasangan gubernur dan wakil gubernur, 4 pasangan diusung oleh partai politik dan dua pasang berasal darì calon independen. Putaran pertama hitung cepat (quick count) yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) menghasilkan; Foke-Nara (34,42%), Hendardji-Riza (1,85%), Jokowi-Ahok (42,85%), Hidayat-Didik (11,80%), Faisal-Biem (4,75%), dan Alex-Nono (4,41%).
            Sementara, hitung cepat pada hari pemilu putaran kedua tanggal 20 September 2012 yang ditayangkan sejumlah stasiun televisi mengunggulkan pasangan Jokowi-Ahok meraih suara sekitar 54-56%, sementara Foke-Nara berkisar 46-44%. Publikasi sejumlah media cetak sehari setelah pemilu (21/9) mengungkapkan, pasangan Jokowi-Ahok tetap unggul atas pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli; LSI dengan (53,81%:46,19%), Indobarometer (54,11%:45,89%), Indonesian Network Election Survey (57,39%:42,61%), Jaringan Suara Indonesia (53,28%:46,72%), Saiful Mujani Research and Consulting (53,27%:46,73%), dan Lingkaran Survei Indonesia (53,68%:46,32%), Kompas (52,97%:47,03%). Hasil resmi diumumkan pada tanggal 28 September 2012.

TEORI SIFAT KOMUNIKASI POLITIK
            Teori-teori dalam kategori ini berfokus pada kecenderungan atau predisposisi yang menentukan cara orang berprilaku. Setiap kepribadian mengandung seperangkat sifat yang unik dan individual. Oleh karena itu, orang dapat dibandingkan satu sama lain berdasarkan perbedaan sifat mereka –perbedaan yang diukur dengan skala yang menujukan berapa banyak sari setiap sifat itu yang dimiliki seseorang.
            Contohnya sifat kepribadian yang diukur dengan skala seperti ini meliputi apakah seseorang mudah menyesuaikan diri atau kaku, emosional atau tenang, cermat atau ceroboh, konvensional atau eksentrik, mudah cemburu atau tidak, sopan atau kasar, pembosan atau tekun, lembut atau keras, rendah hati atau sombong, dan lemah atau bersemangat. Sejumlah ilmuwan sosial menerangkan politik sebagai refleksi sifat kepribadian. Studi lain berusaha menentukan sifat yang mencakup kepribadian konservatif.
TEORI TIPE
            Teori ini mengklasifikan orang ke dalam kategori-kategori berdasarkan karakteristik yang dominan atau tema pokok yang timbul berulangkali dalam perilaku politik mereka. Meskipun kebanyakan upaya untuk menguraikan kepribadian politik telah menerapkan teori tipe berfokus pada karakter dan gaya pemimpin politik, di sini perhatian kita adalah pada mereka yang etlah menggunakan teori tipe untuk memperhitungkan bagaimana khalayak komunikasi politik belajar menanggapai dengan berbagai cara.
            Dalam teori ini berdasarkan perbedaan dalam pengaruh orang tua terhadap kepribadian seseorang terbadi pada beberapa tipe golongan, diantaranya:
(1) Golongan Inaktif adalah sesorang yang berpartisipasi dalam organisasi politik atau sosial di suatu tempat, mereka sama memiliki tipe asuhan orang tua yang sama. Orang tua mereka mengkhawatirkan kesehatan, konformitas, dan kepatuhan akan tuntutan orang tua.
(2) Golongan kovensionalis terdiri dari anggota perkumpulan laki-laki dan perempuan. Orang yang relatif sedikit keterlibatannya dalam politik dan merupakan stereotif “Orang Biasa” yang konvensional, orang tua yang konvensional pada umumnya setia kepada nilai sosial tradisional seperti tanggung jawaban, konformitas, prestasi, dan kepatuhan serta menuntut perilaku yang patut secara sosial dari anak-anak mereka. Oarang tua ini menggunakan hukuman fisik fisik dan psikologis dalam mendidik anak-anak mereka.
(3) Golongan konstruktivis bekerja pada proyek pelayanan sosial, tetapi jarang menjadi peserta protes yang terorganisasi; orang tua mereka menekankan disiplin, prestasi, dan keandalan, pengungkapan diri yang terbatas, dan menggunakan hukuman nonfisik. Mereka lebih diakrabi anak-anak mereka ketimbang orang tua golongan konvensionalis.
(4) Golongan aktivis mengajukan protes ataus kekecewaan mereka terhadap kejelekan masyarakat yang dipersepsi dan juga turut dalam proyek pelayanan masyarakat untuk memperbaiki keburukan itu, orang tua mereka mendorong anak-anak merela untuk independen dan bertanggungjawab, mendiring ekspresi diri berupa jenis agresi fisik, dan keurang menekan disiplin jika dibandingkan dengan kelompok yang diuraikan diatas. Namun mereka mengenang hubungan dengan orang tua sebagai hubungan yang kaku.
(5) Golongan penyingkin (disenter) adalah yang hanya terlibat dalam protes-protes terorganisasi. Orang tua golongan ini tidak konsisten dalam melaksanakan pendidikan anak. Mereka serba membolehkan (permisif) dalam bidang tertentu,d an sangat ketast (restriktif) dalam bidang lain, mereka kurang menekankan indenpedensi dan kedewasaan yang dini dibandingkan dengan orang tua yang lain, namun menuntut prestasi melalui persaingan. Golongan pengingkar jauh lebih cenderung unturk memprotes sebagai bentuk pemberontakan terhadap orang tua daripada dalam golongan yang lain.
            Kebaikan atau kekurangan tipologi seperti itu di sini bukan pokok masalah, melainkan hanya contoh tentang bagaimana para sarjana kadang-kadang mencoba menerangkan politik sebagai refleksi kepribadian. Berbeda dengan teori sifat, pandangan tipe bukan menujukan kecenderungan yang menentukan perilaku, melainkan berfokus pada konsfigurasi perilaku yang memisahkan orang terhadap satu sama lain. Namun, baik dalam teori sifat maupun teori tipe, masa kanak-kanak mempengaruhi permainan peran utama dalam memberi bentuk kepada pengungkapan politik. Tema bahwa manusia politik itu dilahirkan dari anak, sekali lagi terjadi.
TEORI FENOMENOLOGIS.
            Teori fenomenologis adalah pandangan bahwa peran kepribadian dalam perilaku (termasuk kepribadiandalam politik) paling mudah dipahami dengan melukiskan peranan langsung orang –yaitu proses yang digunakan oleh mereka yang memeprhatikan dan memahami fenomena yang disajikan langsung oleh mereka.
            Oleh sebab itu, teori fenomenologis menekankan bahwa cara orang mengalami dunai secara subjektif –sensasi, perasaan, dan fantasi yang terlibat- adalah titik tolak untuk meneliti bagaimana orang menanggapi berbagai objek.
Dua garis uatam berpikir merefleksikan pendekatan fenomenalogis yaitu:
(1) Teori Gestalt tentang persepsi. Penganut teori ini berargumentasi bahwa aspek utama kepribadian ialah bagaimana orang menyusun pengalaman ke dalam pola atau konsfigurasi. Mereka menekankan prinsip kesederhanaan dalam menyusun persepsi.
(2) Teori medan. Teori ini berargumentasi bahwa kepribadian (pola perilaku yang kekal dan diperoleh dengan belajar) saja tidak dapat menerangkan bagaimana orang berprilaku. Setiap orang memilki ruang hidup yang tersusun dari medan gaya. Dalam bertindak, individu mendekati atau menghindari gaya dan objek dalam ruang hidupnya sebagaiaman ia memahami gaya itu saat bertindak.
            Pengalaman yang lalu tentu bisa merupakan gaya di dalam medan itu, tetapi tidak menentukan bagaimana orang akan bertindak terhadap objek dalam situasi tertentu. Teori medan. Menolak gagasan bahwa penyebab tindakan manusia terletak pada masalah yang sudah lama dari setiap individu; sebaliknya, bidang pada saat sekarang adalah produk dari bidang tersebut menurut keadaanya pada masa yang baru saja lewat pengalaman masa lalu jauh turut membentuk bidang masa sekarang secara tidak langsung dengan perjalanan waktu, tetapi pengalaman yang segera memberikan keterangan yang lebih pasti tentang mengapa orang berperilaku seperti apa yang dilakukannya dalam bidang masa sekarang.
            Teori bidang mencakup dua gagasan yang mempunyai relevansi khusus dengan politik, yang pertama ialha bahwa belajar politik merupakan proses kumulatif, bahwa pengalaman yang sedang dialaminya membantu seseorang mendiferensiasikan kepercayaan, nilai dan pengharapan yang difus yang dipungutnya pada msa kanak-kanak. Manusia politik mengajari anak masa lalu dengan melibatkan diri ke dalam pengalaman yang baru yang sebelumnya tidak diperhitungkan.

Pendekatan Perilaku Pemilih
1. Pendekatan Sosiologis
            Pendekatan ini pada dasarnya menjelaskan bahwa karakteristik sosial dan pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai pengaruh yang cukup signifikan dalam menentukan perilaku memilih seseorang. Karakteristik sosial (seperti pekerjaan, pendidikan dan sebagainya) dan karakteristik atau latar belakang sosiologis (seperti agama, wilayah, jenis kelamin, umur, dan sebagainya) merupakan faktor penting dalam menentukan pilihan politik. Pemahaman terhadap pengelompokan sosial baik secara formal, seperti kelompok keagamaan, organisasi profesi, maupun pengelompokan informal seperti keluarga, pertemanan, ataupun kelompok kecil lainnya memiliki peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi, dan orientasi seseorang, yang nanti sebagai dasar atau preferensi dalam menentukan pilihan politiknya. (Anwar, 2004 : 23-24). Gerald Pomper (dalam Asfar, 2006) memerinci pengaruh pengelompokan sosial dalam studi voting behavior ke dalam variabel, yaitu variabel predisposisi sosial-ekonomi keluarga pemilih dan predisposisi sosial-ekonomi pemilih. Menurutnya, predisposisi sosial pemilih dan keluarga pemilih mempunyai hubungan yang signifikan dengan perilaku memilih seseorang. Preferensi-preferensi politik keluarga, apakah preferensi politik ayah atau preferensi politik ibu akan berpengaruh pada preferensi politik anak. (Lipset, 1995: 1346-1353)
            Aspek geografis mempunyai hubungan dengan perilaku memilih. Adanya rasa kedaerahan memengaruhi dukungan seseorang terhadap partai politik. Penelitian-penelitian Rose di Norwegia menunjukkan bahwa ikatan-ikatan kedaerahan, seperti desa-kota, merupakan faktor-faktor yang cukup signifikan dalam menjelaskan aktivitas dan pilihan politik seseorang.Ikatan kedaerahan terutama sangat kuat dalam mempengaruhi pilihan seseorang terhadap kandidat. (Asfar, 2006: 140) Dalam berbagai ragam perbedaan struktur sosial, yang paling tinggi pengaruhnya terhadap perilaku politik adalah faktor kelas (status ekonomi).

2. Pendekatan Psikologis
            Pendekatan ini menjelaskan bahwa sikap seseorang-sebagai refleksi dari kepribadian seseorang, merupakan variabel yang cukup menentukan dalam memengaruhi perilaku politik seseorang. Pendekatan psikologis menekankan pada tiga aspek psikologis, yaitu ikatan emosional pada suatu partai politik, orientasi terhadap isu-isu dan orientasi terhadap kandidat. (Niemi and Herbert F. Weisberg, 1984: 9-12) Pendekatan psikologis menganggap sikap merupakan variabel sentral dalam menjelaskan perilaku politik seorang.

3. Pendekatan Rasional
            Ada faktor situasional yang ikut perperan dalam mempengaruhi pilihan politik seseorang. Dengan begitu, para pemilih tidak hanya pasif tetapi juga aktif, bukan hanya terbelenggu oleh karakteristik sosiologis tetapi juga bebas bertindak. Faktor-faktor situasional itu bisa berupa isu-isu politik ataupun kandidat yang dicalonkan. Dengan demikian isu-isu politik menjadi pertimbangan yang penting. Para pemilih akan menentukan pilihan berdasarkan penilaiannya terhadap isu-isu politik dan kandidat yang diajukan. Mereka melihat adanya analogi antar pasar (ekonomi) dan perilaku memilih (politik).
            Seseorang memilih kontestan atau kandidat tertentu dapat dilihat dari lima pendekatan yakni pendekatan struktural melihat kegiatan memilih sebagai produk dari konteks struktur yang luas, seperti struktur sosial, sistem partai, sistem pemilihan umum, permasalahan dan program yang ditonjolkan. Pendekatan sosiologis cenderung menempatkan kegiatan memilih dalam kaitan dengan konteks sosial, pilihan seseorang dipengaruhi latar belakang demografi dan sosial ekonomi, seperti jenis kelamin, tempat tinggal (kota-desa), pekerjaan, pendidikan, kelas, pendapatan, dan agama. Pendekatan ekologis cenderung hanya relevan apabila dalam suatu daerah pemilihan terdapat perbedaan karakteristik pemilih berdasarkan unit teritorial seperti desa, kelurahan, kecamatan, dan kabupaten. Pendekatan psikologi sosial, secara emosional dirasakan sangat dekat dengan partai politik atau kandidat. Pendekatan pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung dan rugi.

Peran Media Massa
            Peran media massa sangat penting dalam memengaruhi pemilih. Salah satu kunci persaingan politik adalah media massa. Media massa ini diartikan sebagai suatu entitas yang memiliki peran dan fungsi untuk mengumpulkan sekaligus mendistribusikan informasi dari dan ke masyarakat. Efektivitas komunikasi politik membutuhkan peran serta media massa, karena merekalah salah satu profesi penting yang memiliki perangkat dan kemampuan berkomunikasi dengan masyarakat luas. Komunikasi politik kerapkali terjadi secara tidak langsung melalui pemberitaan-pemberitaan yang dilakukan oleh media massa.(Firmansyah,2008:265)

            Seperti telah disebutkan di teori sifat, tipe dan fenomena yang bisa diterapkan pada kasus pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2012. Jokowi yang menjadi fenomenal karena pada saat menjadi calon Gubernur dia masih menjabat sebagai walikota Solo.
“Blusukan” adalah kata yang menggambarkan suatu kegiatan atau kinerja yang focus di lapangan tentunya dengan dukungan administrasi yang baik. Kata “blusukan” sendiri menjadi trend setelah Jokowi – Ahok menjadi pemimpin tertinggi di DKI Jakarta setelah menang atas Foke – Nara. Menjadi Gubernur di ibukota Indonesia tidaklah mudah, sejumlah masalah telah menanti duet beda Suku dan Agama ini. Pembagian Tugas yang jelas, itulah yang membedakan Joko Widodo (Jokowi) dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam melaksanakan tugas pemerintahan. Ahok lebih banyak difungsikan mengurusi administrasi, manajemen diperbaiki di segala lini, Ahok dipercayakan untuk berada lebih banyak dikantor mengurusi Administrasi DKI Jakarta. Sementara Jokowi berkutat dengan Manajemen Blusukan ala Jokowi yang telah terkenal semenjak menjadi Walikota Solo.
Naik turun bus reyot, memandangi tumpukan sampah di kali, masuk roil, menyapa rakyat yang terpinggirkan dan berada di daerah-daerah kumuh, melantik wali kota di tengah-tengah daerah yah kumuh, berada ditengah-tengah banjir yang melanda DKI Jakarta, sampai lelang jabaan Lurah dan Camat. Ide cemerlang berani melelalang Jabatan Lurah dan Camat terbuka untuk seluruh PNS (Pegawai Negeri Sipil) berpangkat setingkat Eselon III dan IV merupakan terobosan yang berani dan bukti bahwa duet Jokowi – Ahok ini adalah sosok yang jujur, berdediaksi yang tinggi dan mau memperbaiki birokrasi pemerintahan yang terlanjur di cap kotor dan korupsi. Duet maut ini ingin membuktikan bahwa mereka memang memerlukan orang-orang yang memiliki kualitas mumpuni dalam mengisi jabatan Lurah dan Camat, bukan berdasarkan “UANG”, seperti yang dilakukan oleh pejabat-pejabat lain dalam mengisi jabatan apapun, harus memiliki atau harus mampu menyediakan “UANG” dalam besaran angka tertentu, praktek 3 D, masih terasa dalam proses pengangkatan pejabat jabatan apapun dalam pemerintahan, 3 D itu adalah : Duit, Dekking dan Dedikasi.
Dengan memanfaatkan perangkat Teknologi Informasi dan Komunikasi, Jokowi – Ahok membuat proses lelang jabatan beda, test pertama adalah Test Kompetensi, dengan bantuan program aplikasi CAT (Computer Assisted Test), metode seleksi dengan alat bantu computer yang bertujuan untuk mendapatkan standard minimal kompetensi dasar bagi calon seleksi Lurah maupun Camat. Dengan aplikasi ini, soal dapat diacak secara otomatis, sehingga peserta test seleksi dipastikan tidak mendapat soal yang sama atau setiap peserta mendapatkan soal yang berbeda, sehingga kemungkinan untuk “nyontek” minim.
            Ketika menjabat sebagai walikota, Pemuda solo ini mulai membangun kota kelahirannya dari mulai hal-hal kecil, seperti pasar-pasar yang kurang tertata rapi, serta mengenai pembangunan infrasturkturnya. Ibarat sosok jokowi memberikan air segar di tengah Oase. Pria yang terkenal dengan gaya blusukan ini, mulai membuat gebrakan-gebrakan baru dengan menampilkan sisi kreativitas dari kota solo tersebut. Beberapa ide-ide brilian yang dicetus adalah dengan membuat solo sebagai city branding,membangun solo melalui seni budayanya sehingga lahirlah acara tahunan ‘Solo Batik Karnival’. Ide-ide kreatif mulai diimplementasikan sehingga membuat nama Solo semakin terkenal baik secara domestik maupun mancanegara.
            Dia memimpin solo seperti benar-benar mendengarkan aspirasi warganya sendiri. Dia melakukan pendekatan persuasif untuk mengajak warganya membangun kota solo bersama. Dia blusukan, gemar berkeliling kampung dan desa untuk menemui warganya. Tetapi, hal itu bukan merupakan suatu perbuatan yang sia-sia. Dalam buku biografi yang ditulis oleh Alberthine Endah yang berjudul “Jokowi, Memimpin Kota, Menyentuh Jakarta’, Jokowi mengatakan,
“Tak ada sesuatu yang luar biasa yang saya buat, Saya hanya melakukan yang semestinya memang harus dilakukan.”
            Kata yang cukup sederhana, dan tidak sulit untuk dicerna. Beliau menggambarkan bahwa pemimpin itu bukan sesuatu yang terlalu rumit, tetapi kalau seseorang memahami dengan benar bagaimana filosofis pemimpin, pasti akan melakukan sesuatu yang sudah seharusnya dilakukan. Tidak ada yang istimewa, yang ada hanyalah kesederhanaan yang dibalut dengan kecintaan dan kesungguhan untuk menjalani suatu amanat. Apalagi untuk rakyat.

Referensi :
Nimmo, Dan. 1989. Komunikasi Politik, Khalayak dan Efek.. Bandung : Rosdakarya.

……………...1993. Komunikasi Politik, Komunikator, Pesan, dan Media. Bandung : Rosdakarya

Jurnal penelitian komunikasi “Perilaku Politik Pemilih Pada Pemilihan Gubernur Jawa Timur Periode 2008-2013 Hal. 43” Majalah Ilmiah ISSN : 1410 – 8291., SK Kep. LIPI No. 536/D/2007 tanggal 26 Juni 2007.

No comments:

Post a Comment

 

Blogger news

Blogroll

Most Reading